Minggu, 22 November 2009

Penilaian kinerja


Pengertian Kinerja Kinerja dalam organisasi merupakan jawaban dari berhasil atau tidaknya tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Para atasan atau manajer sering tidak memperhatikan kecuali sudah amat buruk atau segala sesuatu jadi serba salah. Terlalu sering manajer tidak mengetahui betapa buruknya kinerja telah merosot sehingga perusahaan / instansi menghadapi krisis yang serius. Kesan – kesan buruk organisasi yang mendalam berakibat dan mengabaikan tanda – tanda peringatan adanya kinerja yang merosot

Pengertian Penilaian Kinerja
Penilaian prestasi kerja menurut Utomo, Tri Widodo W. adalah proses untuk mengukur prestasi kerja pegawai berdasarkan peraturan yang telah ditetapkan, dengan cara membandingkan sasaran (hasil kerjanya) dengan persyaratan deskripsi pekerjaan yaitu standar pekerjaan yang telah ditetapkan selama periode tertentu. Standar kerja tersebut dapat dibuat baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
(http://www.geocities.com/mas_tri/sistemDP3.pdf).
Siagian (1995:225–226) menyatakan bahwa penilaian prestasi kerja adalah: Suatu pendekatan dalam melakukan penilaian prestasi kerja para pegawai yang di dalamnya terdapat berbagai faktor seperti :
1. Penilaian dilakukan pada manusia sehingga disamping memiliki kemampuan tertentu juga tidak luput dari berbagai kelemahan dan kekurangan;
2. Penilaian yang dilakukan pada serangkaian tolak ukur tertentu yang realistik, berkaitan langsung dengan tugas seseorang serta kriteria yang ditetapkan dan diterapkan secara obyektif;
3. Hasil penilaian harus disampaikan kepada pegawai yang dinilai dengan lima maksud:
a. Apabila penilaian tersebut positif maka penilaian tersebut menjadi dorongan kuat bagi pegawai yang bersangkutan untuk lebih berprestasi lagi pada masa yang akan datang sehingga kesempatan meniti karier lebih terbuka baginya.
b. Apabila penilaian tersebut bersifat negatif maka pegawai yang bersangkutan mengetahui kelemahannya dan dengan sedemikian rupa mengambil berbagai langkah yang diperlukan untuk mengatasi kelemahan tersebut.
c. Jika seseorang merasa mendapat penilaian yang tidak obyektif, kepadanya diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan sehingga pada akhirnya ia dapat memahami dan menerima hasil penilaian yang diperolehnya.
d. Hasil penilaian yang dilakukan secara berkala itu terdokumentasikan secara rapi dalam arsip kepegawaian setiap pegawai sehingga tidak ada informasi yang hilang, baik yang sifatnya menguntungkan maupun merugikan pegawai bersangkutan;
e. Hasil penilaian prestasi kerja setiap orang menjadi bahan yang selalu turut dipertimbangkan dalam setiap keputusan yang dambil mengenai mutasi pegawai, baik dalam arti promosi, alih tugas, alih wilayah, demosi maupun dalam pemberhentian tidak atas permintaan sendiri.
Penilaian kinerja menurut Mondy dan Noe (1993:394) merupakan suatu sistem formal yang secara berkala digunakan untuk mengevaluasi kinerja individu dalam menjalankan tugas-tugasnya.
Sedangkan Mejia, dkk (2004:222-223) mengungkapkan bahwa penilaian kinerja merupakan suatu proses yang terdiri dari:
1. Identifikasi, yaitu menentukan faktor-faktor kinerja yang berpengaruh terhadap kesuksesan suatu organisasi. Hal ini dapat dilakukan dengan mengacu pada hasil analisa jabatan.
2. Pengukuran, merupakan inti dari proses sistem penilaian kinerja. Pada proses ini, pihak manajemen menentukan kinerja pegawai yang bagaimana yang termasuk baik dan buruk. Manajemen dalam suatu organisasi harus melakukan perbandingan dengan nilai-nilai standar atau memperbandingkan kinerja antar pegawai yang memiliki kesamaan tugas.
3. Manajemen, proses ini merupakan tindak lanjut dari hasil penilaian kinerja. Pihak manajemen harus berorientasi ke masa depan untuk meningkatkan potensi pegawai di
organisasi yang bersangkutan. Hal ini dapat dilakukan dengan pemberian umpan balik dan pembinaan untuk meningkatkan kinerja pegawainya.
Berdasarkan beberapa pendapat ahli mengenai pengertian penilaian kinerja, terdapat benang merah yang dapat digunakan untuk menarik kesimpulan bahwa penilaian kinerja merupakan suatu sistem penilaian secara berkala terhadap kinerja pegawai yang mendukung kesuksesan organisasi atau yang terkait dengan pelaksanaan tugasnya. Proses penilaian dilakukan dengan membandingkan kinerja pegawai terhadap standar yang telah ditetapkan atau memperbandingkan kinerja antar pegawai yang memiliki kesamaan tugas.
Tujuan dan Manfaat Penilaian Kinerja
Penilaian kinerja menurut Werther dan Davis (1996:342) mempunyai beberapa tujuan dan manfaat bagi organisasi dan pegawai yang dinilai, yaitu:
1. Performance Improvement. Yaitu memungkinkan pegawai dan manajer untuk mengambil tindakan yang berhubungan dengan peningkatan kinerja.
2. Compensation adjustment. Membantu para pengambil keputusan untuk menentukan siapa saja yang berhak menerima kenaikan gaji atau sebaliknya.
3. Placement decision. Menentukan promosi, transfer, dan demotion.
4. Training and development needs mengevaluasi kebutuhan pelatihan dan pengembangan bagi pegawai agar kinerja mereka lebih optimal.
5. Carrer planning and development. Memandu untuk menentukan jenis karir dan potensi karir yang dapat dicapai.
6. Staffing process deficiencies. Mempengaruhi prosedur perekrutan pegawai.
7. Informational inaccuracies and job-design errors. Membantu menjelaskan apa saja kesalahan yang telah terjadi dalam manajemen sumber daya manusia terutama di
bidang informasi job-analysis, job-design, dan sistem informasi manajemen sumber daya manusia.
8. Equal employment opportunity. Menunjukkan bahwa placement decision tidak diskriminatif.
9. External challenges. Kadang-kadang kinerja pegawai dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti keluarga, keuangan pribadi, kesehatan, dan lain-lainnya. Biasanya faktor ini tidak terlalu kelihatan, namun dengan melakukan penilaian kinerja, faktor-faktor eksternal ini akan kelihatan sehingga membantu departemen sumber daya manusia untuk memberikan bantuan bagi peningkatan kinerja pegawai.
10. Feedback. Memberikan umpan balik bagi urusan kepegawaian maupun bagi pegawai itu sendiri.
Berdasarkan kesepuluh tujuan di atas, pihak manajemen Perusahaan Daerah Air Minum Kota Surabaya seperti yang diutarakan oleh Direktur Utama pada saat presentasi laporan magang mahasiswa Magister Profesi Psikologi Universitas Airlangga bulan Agustus 2004 mengarahkan tujuan penilaian kinerjanya untuk:
1. Memberikan feedback bagi pegawai dan urusan kepegawaian
2. Dipergunakan sebagai pertimbangan penentuan sistem reward (namun pada kenyataannya berdasarkan hasil penilaian kinerja periode Desember 2004, justru penilaian kinerja sebagai pertimbangan penentuan punishment bagi pegawai yang kinerjanya kurang baik)
3. Dipergunakan sebagai pertimbangan promosi dan rotasi pegawai
4. Dipergunakan sebagai sumber informasi tentang kebutuhan pelatihan dan pengembangan pegawai.
Elemen Penilaian Kinerja
Penilaian kinerja yang baik adalah yang mampu untuk menciptakan gambaran yang tepat mengenai kinerja pegawai yang dinilai. Penilaian tidak hanya ditujukan untuk menilai dan memperbaiki kinerja yang buruk, namun juga untuk mendorong para pegawai untuk bekerja lebih baik lagi. Berkaitan dengan hal ini, penilaian kinerja membutuhkan standar pengukuran, cara penilaian dan analisa data hasil pengukuran, serta tindak lanjut atas hasil pengukuran. Elemen-elemen utama dalam sistem penilaian kinerja Werther dan Davis (1996:344) adalah:
A. Performance Standard
Penilaian kinerja sangat membutuhkan standar yang jelas yang dijadikan tolok ukur atau patokan terhadap kinerja yang akan diukur. Standar yang dibuat tentu saja harus berhubungan dengan jenis pekerjaan yang akan diukur dan hasil yang diharapkan akan terlihat dengan adanya penilaian kinerja ini.
Ada empat hal yang harus diperhatikan dalam menyusun standar penilaian kinerja yang baik dan benar yaitu validity, agreement, realism, dan objectivity.
1. Validity adalah keabsahan standar tersebut sesuai dengan jenis pekerjaan yang dinilai. Keabsahan yang dimaksud di sini adalah standar tersebut memang benar-benar sesuai atau relevan dengan jenis pekerjaan yang akan dinilai tersebut.
2. Agreement berarti persetujuan, yaitu standar penilaian tersebut disetujui dan diterima oleh semua pegawai yang akan mendapat penilaian. Ini berkaitan dengan prinsip validity di atas.
3. Realism berarti standar penilaian tersebut bersifat realistis, dapat dicapai oleh para pegawai dan sesuai dengan kemampuan pegawai.
4. Objectivity berarti standar tersebut bersifat obyektif, yaitu adil, mampu mencerminkan keadaan yang sebenarnya tanpa menambah atau mengurangi kenyataan dan sulit untuk dipengaruhi oleh bias -bias penilai
B. Kriteria Manajemen Kinerja (Criteria for Managerial Performance)
Kriteria penilaian kinerja dapat dilihat melalui beberapa dimensi, yaitu kegunaan fungsional (functional utility), keabsahan (validity), empiris (empirical base), sensitivitas (sensitivity), pengembangan sistematis (systematic development), dan kelayakan hukum (legal appropriateness).
a. Kegunaan fungsional bersifat krusial, karena hasil penilaian kinerja dapat digunakan untuk melakukan seleksi, kompensasi, dan pengembangan pegawai, maka hasil penilaian kinerja harus valid, adil, dan berguna sehingga dapat diterima oleh pengambil keputusan.
b. Valid atau mengukur apa yang sebenarnya hendak diukur dari penilaian kinerja tersebut.
c. Bersifat empiris, bukan berdasarkan perasaan semata.
d. Sensitivitas kriteria. Kriteria itu menunjukkan hasil yang relevan saja, yaitu kinerja, bukan hal-hal lainnya yang tidak berhubungan dengan kinerja.
e. Sistematika kriteria. Hal ini tergantung dari kebutuhan organisasi dan lingkungan organisasi. Kriteria yang sistematis tidak selalu baik. Organisasi yang berada pada lingkungan yang cepat berubah mungkin justru lebih baik menggunakan kriteria yang kurang sistematis untuk cepat menyesuaikan diri dan begitu juga sebaliknya.
f. Kelayakan hukum yaitu kriteria itu harus sesuai dengan hukum yang berlaku.
Dimensi-dimensi ini digunakan dalam penentuan jenis-jenis kriteria penilaian kinerja. Adapun kriteria-kriteria tersebut adalah people-based criteria, product-based criteria, behaviour-based criteria.
People-based criteria dibuat berdasarkan dimensi kegunaan fungsional sehingga banyak digunakan untuk selection dan penentuan kompensasi. Kriteria ini dibuat berdasarkan
penilaian terhadap kemampuan pribadi, seperti pengalaman, kemampuan intelektual, dan keterampilan.
Product-based criteria biasanya dianggap lebih baik daripada people -based criteria. Kriteria ini didasarkan atas tujuan atau jenis output yang ingin dicapai.
Behaviour-based criteria mempunyai banyak aspek, bisa dari segi hukum, etika, normatif, atau teknis. Kriteria ini dibuat berdasarkan perilaku-perilaku yang diharapkan sesuai dengan aspek-aspek tersebut.
C. Pengukuran Kinerja (Performance Measures)
Pengukuran kinerja dapat dilakukan dengan menggunakan sistem penilaian (rating) yang relevan. Rating tersebut harus mudah digunakan sesuai dengan yang akan diukur, dan mencerminkan hal-hal yang memang menentukan kinerja Werther dan Davis (1996:346). Pengukuran kinerja juga berarti membandingkan antara standar yang telah ditetapkan dengan kinerja sebenarnya yang terjadi.
Pengukuran kinerja dapat bersifat subyektif atau obyektif. Obyektif berarti pengukuran kinerja dapat juga diterima, diukur oleh pihak lain selain yang melakukan penilaian dan bersifat kuantitatif. Sedangkan pengukuran yang bersifat subyektif berarti pengukuran yang berdasarkan pendapat pribadi atau standar pribadi orang yang melakukan penilaian dan sulit untuk diverifikasi oleh orang lain.
D. Analisa Data Pengukuran
Setelah menetapkan standar pengukuran, kemudian mulailah dikumpulkan data-data yang diperlukan. Data-data dapat dikumpulkan dengan melakukan wawancara, survei langsung, atau meneliti catatan pekerjaan dan lain sebagainya. Data-data tersebut
dikumpulkan dan dianalisa apakah ada perbedaan antara standar kinerja dengan kinerja aktual.
E. Bias dan Tantangan dalam Penilaian Kinerja
Penilaian kinerja harus bebas dari diskriminasi. Apapun bentuk atau metode penilaian yang dilakukan oleh pihak manajemen harus adil, realistis, valid, dan relevan dengan jenis pekerjaan yang akan dinilai karena penilaian kinerja ini tidak hanya berkaitan dengan masalah prestasi semata, namun juga menyangkut masalah gaji, hubungan kerja, promosi/demosi, dan penempatan pegawai. Adapun bias-bias yang sering muncul menurut Werther dan Davis (1996:348) adalah:
1. Hallo Effect, terjadi karena penilai menyukai atau tidak menyukai sifat pegawai yang dinilainya. Oleh karena itu, pegawai yang disukai oleh penilai cenderung akan memperoleh nilai positif pada semua aspek penilaian, dan begitu pula sebaliknya, seorang pegawai yang tidak disukai akan mendapatkan nilai negatif pada semua aspek penilaian;
2. Liniency and Severity Effect. Liniency effect ialah penilai cenderung beranggapan bahwa mereka harus berlaku baik terhadap pegawai, sehingga mereka cenderung memberi nilai yang baik terhadap semua aspek penilaian. Sedangkan severity effect ialah penilai cenderung mempunyai falsafah dan pandangan yang sebaliknya terhadap pegawai sehingga cenderung akan memberikan nilai yang buruk;
3. Central tendency, yaitu penilai tidak ingin menilai terlalu tinggi dan juga tidak terlalu rendah kepada bawahannya (selalu berada di tengah-tengah). Toleransi penilai yang terlalu berlebihan tersebut menjadikan penilai cenderung memberikan penilaian dengan nilai yang rata-rata.
4. Assimilation and differential effect. Assimilation effect, yaitu penilai cenderung menyukai pegawai yang mempunyai ciri-ciri atau sifat seperti mereka, sehingga akan memberikan nilai yang lebih baik dibandingkan dengan pegawai yang tidak memiliki kesamaan sifat dan ciri-ciri dengannya. Sedangkan differential effect, yaitu penilai cenderung menyukai pegawai yang memiliki sifat-sifat atau ciri-ciri yang tidak ada pada dirinya, tapi sifat-sifat itulah yang mereka inginkan, sehingga penilai akan memberinya nilai yang lebih baik dibanding yang lainnya;
5. First impression error, yaitu penilai yang mengambil kesimpulan tentang pegawai berdasarkan kontak pertama mereka dan cenderung akan membawa kesan-kesan ini dalam penilaiannya hingga jangka waktu yang lama;
6. Recency effect, penilai cenderung memberikan nilai atas dasar perilaku yang baru saja mereka saksikan, dan melupakan perilaku yang lalu selama suatu jangka waktu tertentu.
Metode Penilaian Kinerja
Banyak metode dalam penilaian kinerja yang bisa dipergunakan, namun secara garis besar dibagi menjadi dua jenis, yaitu past oriented appraisal methods (penilaian kinerja yang berorientasi pada masa lalu) dan future oriented appraisal methods (penilaian kinerja yang berorientasi ke masa depan), (Werther dan Davis, 1996:350).
Past based methods adalah penilaian kinerja atas kinerja seseorang dari pekerjaan yang telah dilakukannya. Kelebihannya adalah jelas dan mudah diukur, terutama secara kuantitatif. Kekurangannya adalah kinerja yang diukur tidak dapat diubah sehingga kadang-kadang justru salah menunjukkan seberapa besar potensi yang dimiliki oleh seseorang. Selain itu, metode ini kadang-kadang sangat subyektif dan banyak biasnya.
Future based methods adalah penilaian kinerja dengan menilai seberapa besar potensi pegawai dan mampu untuk menetapkan kinerja yang diharapkan pada masa datang.
Metode ini juga kadang-kadang masih menggunakan past method. Catatan kinerja juga masih digunakan sebagai acuan untuk menetapkan kinerja yang diharapkan. Kekurangan dari metode ini adalah keakuratannya, karena tidak ada yang bisa memastikan 100% bagaimana kinerja seseorang pada masa datang.
Pengkasifikasian pendekatan penilaian kinerja oleh Wherther di atas berbeda dengan klasifikasi yang dilakukan oleh Kreitner dan Kinicki (2000). Berdasarkan aspek yang diukur, Kreitner dan Kinicki mengklasifikasikan penilaian kinerja menjadi tiga, yaitu: pendekatan trait, pendekatan perilaku dan pendekatan hasil. Pendekatan trait adalah pendekatan penilaian kinerja yang lebih fokus pada orang. Pendekatan ini melakukan perankingan terhadap trait atau karakteristik individu seperti inisiatif, loyalitas dan kemampuan pengambilan keputusan. Pendekatan trait memiliki kelemahan karena ketidakjelasan kinerja secara nyata. Pendekatan perilaku, pendekatan ini lebih fokus pada proses dengan melakukan penilaian kinerja berdasarkan perilaku yang tampak dan mendukung kinerja seseorang. Sedangkan pendekatan hasil adalah pendekatan yang lebih fokus pada capaian atau produk. Metode penilaian kinerja yang menggunakan pendekatan hasil seperti metode management by objective (MBO), (Kreitner dan Kinicki, 2000:303-304).
Metode-metode penilaian kinerja yang sesuai dengan pengkategorian dua tokoh di atas yang paling banyak digunakan menurut Mondy dan Noe (1993:402-414) adalah:
Written Essays, merupakan teknik penilaian kinerja yaitu evaluator menulis deskripsi mengenai kekuatan pekerja, kelemahannya, kinerjanya pada masa lalu, potensinya dan memberikan saran-saran untuk pengembangan pekerja tersebut.
Critical Incidents, merupakan teknik penilaian kinerja yaitu evaluator mencatat mengenai apa saja perilaku/pencapaian terbaik dan terburuk (extremely good or bad behaviour) pegawai.
Graphic Rating Scales, merupakan teknik penilaian kinerja yaitu evaluator menilai kinerja pegawai dengan menggunakan skala dalam mengukur faktor-faktor kinerja (performance factor ). Misalnya adalah dalam mengukur tingkat inisiatif dan tanggung jawab pegawai. Skala yang digunakan adalah 1 sampai 5, yaitu 1 adalah yang terburuk dan 5 adalah yang terbaik. Jika tingkat inisiatif dan tanggung jawab pegawai tersebut biasa saja, misalnya, maka ia diberi nilai 3 atau 4 dan begitu seterusnya untuk menilai faktor-faktor kinerja lainnya. Metode ini merupakan metode umum yang paling banyak digunakan oleh organisasi.
Behaviourally Anchored Rating Scales (BARS), merupakan teknik penilaian kinerja yaitu evaluator menilai pegawai berdasarkan beberapa jenis perilaku kerja yang mencerminkan dimensi kinerja dan membuat skalanya. Misalnya adalah penilaian pelayanan pelanggan. Bila pegawai bagian pelayanan pelanggan tidak menerima suap dari pelanggan, ia diberi skala 4 yang berarti kinerja lumayan. Bila pegawai itu membantu pelanggan yang kesulitan atau kebingungan, ia diberi skala 7 yang berarti kinerjanya memuaskan, dan seterusnya. Metode ini mendeskripsikan perilaku yang diharapkan sesuai dengan tingkat kinerja yang diharapkan. Pada contoh di atas, nilai 4 dideskripsikan dengan tidak menerima suap dari pelanggan. Nilai 7 dideskripsikan dengan menolong pelanggan yang membutuhkan bantuan. Dengan mendeskripsikannya, metode ini mengurangi bias yang terjadi dalam penilaian.
Multiperson Comparison, merupakan teknik penilaian kinerja yaitu seorang pegawai dibandingkan dengan rekan kerjanya. Biasanya dilakukan oleh supervisor. Ini sangat berguna untuk menentukan kenaikan gaji (merit system), promosi, dan penghargaan perusahaan.
Management By Objectives. Metode ini juga merupakan penilaian kinerja, yaitu pegawai dinilai berdasarkan pencapaiannya atas tujuan-tujuan spesifik yang telah ditentukan sebelumnya. Tujuan-tujuan ini tidak ditentukan oleh manajer saja, melainkan ditentukan dan disepakati bersama oleh para pegawai dan manajer.
Setiap metode di atas memiliki kelemahan dan kelebihannya masing-masing, sehingga tidak baik bagi organisasi untuk menggantungkan penilaian kinerjanya hanya pada satu jenis metode saja. Sebaiknya, organisasi menggabungkan beberapa metode yang sesuai dengan lingkup organisasinya, Mondy dan Noe (1993: 414).
2.1.1. Proses Penyusunan Penilaian Kinerja
Proses penyusunan penilaian kinerja menurut Mondy dan Noe (1993:398) terbagi dalam beberapa tahapan kegiatan yang ditunjukkan dalam gambar di bawah ini:
Sumber : Mondy dan Noe (1993:398)
Langkah pertama yang harus dilakukan dalam menyusun sistem penilaian kinerja yaitu harus digali terlebih dahulu tujuan yang ingin dicapai oleh organisasi dengan adanya sistem penilaian kinerja yang akan disusun. Hal ini menjadi penting karena dengan mengetahui tujuan yang ingin dicapai akan lebih memudahkan dalam menentukan desain penilaian kinerja.
Langkah yang kedua, menetapkan standar yang diharapkan dari suatu jabatan, sehingga akan diketahui dimensi-dimensi apa saja yang akan diukur dalam penilaian kinerja. Dimensi-dimensi tersebut tentunya harus sangat terkait dengan pelaksanaan tugas pada jabatan itu. Tahap ini biasanya dapat dilakukan dengan menganalisa jabatan (job analysis) atau menganalisa uraian tugas masing-masing jabatan.
Identifikasi tujuan
Menetapkan standar terhadap suatu jabatan
Menyusun sistem penilaian kinerja
Menilai kinerja pegawai
Mendiskusikan hasil penilaian dengan pegawai
Setelah tujuan dan dimensi yang akan diukur dalam penilaian kinerja diketahui, maka langkah selanjutnya yaitu menentukan desain yang sesuai untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Penentuan desain penilaian kinerja ini harus selalu dikaitkan dengan tujuan penilaian. Hal ini karena tiap-tiap desain penilaian kinerja memiliki kelemahan dan kelebihannya masing-masing. Sebagai contoh, penilaian kinerja yang dilakukan untuk menentukan besaran gaji pegawai dengan penilaian kinerja yang bertujuan hanya untuk mengetahui kebutuhan pengembangan tentunya memiliki desain yang berbeda.
Langkah berikutnya adalah melakukan penilaian kinerja terhadap pegawai yang menduduki suatu jabatan. Penilaian kinerja ini dapat dilakukan oleh atasan saja, atau dengan sistem 360o. Penilaian dengan sistem 360o maksudnya adalah penilaian satu pegawai dilakukan oleh atasan, rekan kerja yang sejajar/setingkat, dan bawahannya.
Hasil dari penilaian kinerja, selanjutnya dianalisa dan dikomunikasikan kembali kepada pegawai yang dinilai agar mereka mengetahui kinerjanya selama ini serta mengetahui kinerja yang diharapkan oleh organisasi. Evaluasi terhadap sistem penilaian kinerja yang telah dilakukan juga dilaksanakan pada tahap ini. Apakah penilaian kinerja tersebut sudah dapat mencapai tujuan dari diadakannya penilaian kinerja atau belum. Apabila ternyata belum, maka harus dilakukan revisi atau mendesain ulang sistem penilaian kinerja

Kompensasi

Kompensasi adalah seluruh imbalan yang diterima karyawan atas hasil kerja karyawan tersebut pada organisasi. Kompensasi bisa berupa fisik maupun non fisik dan harus dihitung dan diberikan kepada karyawan sesuai dengan pengorbanan yang telah diberikannya kepada organisasi / perusahaan tempat ia bekerja.

Perusahaan dalam memberikan kompensasi kepada para pekerja terlebih dahulu melakukan penghitungan kinerja dengan membuat sistem penilaian kinerja yang adil. Sistem tersebut umumnya berisi kriteria penilaian setiap pegawai yang ada misalnya mulai dari jumlah pekerjaan yang bisa diselesaikan, kecepatan kerja, komunikasi dengan pekerja lain, perilaku, pengetahuan atas pekerjaan, dan lain sebainya.

Para karyawan mungkin akan menghitung-hitung kinerja dan pengorbanan dirinya dengan kompensasi yang diterima. Apabila karyawan merasa tidak puas dengan kompensasi yang didapat, maka dia dapat mencoba mencari pekerjaan lain yang memberi kompensasi lebih baik. Hal itu cukup berbahaya bagi perusahaan apabila pesaing merekrut / membajak karyawan yang merasa tidak puas tersebut karena dapat membocorkan rahasia perusahaan / organisasi.

Kompensasi yang baik akan memberi beberapa efek positif pada organisasi / perusahaan sebagai berikut di bawah ini :
a. Mendapatkan karyawan berkualitas baik
b. Memacu pekerja untuk bekerja lebih giat dan meraih prestasi gemilang
c. Memikat pelamar kerja berkualitas dari lowongan kerja yang ada
d. Mudah dalam pelaksanaan dalam administrasi maupun aspek hukumnya
e. Memiliki keunggulan lebih dari pesaing / kompetitor

Macam-Macam / Jenis-Jenis Kompensasi Yang Diberikan Pada Karyawan :

1. Imbalan Ektrinsik

a. Imbalan ektrinsik yang berbentuk uang antara lain misalnya :
- gaji
- upah
- honor
- bonus
- komisi
- insentif
- upah, dll

b. Imbalan ektrinsik yang bentuknya sebagai benefit / tunjangan pelengkap contohnya seperti :
- uang cuti
- uang makan
- uang transportasi / antar jemput
- asuransi
- jamsostek / jaminan sosial tenaga kerja
- uang pensiun
- rekreasi
- beasiswa melanjutkan kuliah, dsb

2. Imbalan Intrinsik

Imbalan dalam bentuk intrinsik yang tidak berbentuk fisik dan hanya dapat dirasakan berupa kelangsungan pekerjaan, jenjang karir yang jelas, kondisi lingkungan kerja, pekerjaan yang menarik, dan lain-lain.


3 Teori Latar Belakang / Melatar Belakangi Kompensasi Pekerja :

1. Teori Kompensasi Ekonomi Pasar
Teori ekonomi pasar adalah penciptaan suatu harga upah atau bayaran yang didasarkan atas kekuatan tawar-menawar negosiasi / negoisasi antara para pekerja, pegawai, karyawan, buruh, dsb dengan pihak manajemen perusahaan.

2. Teori Kompensasi Standar Hidup
Teori standar hidup adalah suatu sistem kompensasi di mana upah atau gaji ditentukan dengan menyesuaikan dengan standar hidup layak di mana para pekerja dapat menikmati hidup dengan damai, mana, tentram dan sejahtera mencakup jaminan pensiun di hari tua, tabungan, pendidikan, tempat tinggal, transportasi dan lain sebagainya.

3. Teori Kompensasi Kemampuan Membayar
Teori kemampuan membayar adalah suatu sistem penentuan besar kecil kompensasi yang diberikan kepada para pekerja dengan menyesuaikannya dengan tingkat pendapatan dan keuntungan perusahaan. Ketika perusahaan sedang berjaya, maka karyawan diberikan tambahan kompensasi. Tetapi jika perusahaan mengalami kerugian, maka pegawai juga akan mendapat pengurangan kompensasi.

Selasa, 17 November 2009

SELEKSI DAN WAWANCARA


Wawancara kerja merupakan suatu tahap paling menentukan dalam suatu proses recruitment, baik itu dipandang dari sudut si pencari kerja maupun dari sudut perusahaan yang akan mempekerjakan. Dari semua tahapan suatu proses seleksi, tahap inilah yang akan paling menentukan siapa kita di mata perusahaan yang akan merekrut, namun yang terlebih penting lagi adalah bahwa inilah tahap yang menentukan diterima tidaknya kita dalam suatu proses seleksi. Berikut ini merupakan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam sebuah wawancara kerja:

Persiapkanlah semua informasi yang mungkin diperlukan pada saat wawancara kerja nanti. Informasi tersebut antara lain adalah informasi alamat kantor, nomor telepon, contact person dari perusahaan yang akan mengundang Anda. Juga informasi mengenai waktu dilangsungkannya wawancara serta ruangan tempat dilangsungkannya wawancara. Sedapat mungkin galilah informasi mengenai perusahaan tersebut, baik melalui media cetak maupun Internet. Jangan ragu untuk mempelajari kembali isi Surat Lamaran yang Anda kirimkan untuk perusahaan tersebut, tentang posisi jabatan dan keahlian yang disyaratkan. Tentunya bukan hal yang menyenangkan bila pada saat wawancara Anda lupa posisi kerja yang akan Anda pilih.

Persiapankanlah diri dan mental Anda sebaik mungkin. Pada saat wawancara kerja, banyak hal tak terduga yang dapat terjadi, mulai dari pertanyaan yang diajukan maupun informasi tambahan yang diminta. Dan yang terlebih penting lagi Anda tidak akan tahu dengan siapa Anda berhadapan nanti. Oleh karena itu persiapan diri dan mental merupakan salah satu modal utama dalam meyakinkan pihak pewawancara nantinya. Jangan pernah terlihat tegang maupun kebingungan pada saat wawancara berlangsung.

Penampilan merupakan salah satu faktor utama yang mewakili citra diri Anda, oleh karenanya jangan pernah menganggap remeh penampilan, karena dari sinilah kepribadian Anda akan dinilai oleh pewawancara. Pakailah baju yang sopan, rapi dan bersih. Pilihlah baju kerja dengan warna netral, untuk wanita sebaiknya menghindari pemakaian asesoris yang terlalu berlebihan.

Jagalah sikap Anda selama wawancara berlangsung. Tunjukkanlah bahwa Anda adalah orang yang sopan namun tetap ramah dalam menjawab semua pertanyaan. Jangan bersikap sembrono selama wawancara berlangsung, seperti merokok, menelepon atau menjawab SMS selama berlangsungnya wawancara, karena hal tersebut akan membuat Anda dinilai menyepelekan perusahaan tersebut.

Ketrampilan berkomunikasi merupakan salah satu modal seorang pencari kerja dalam meningkatkan ‘nilai jual’ yang ada pada dirinya. Pada umumnya ada 2 (dua) jenis interview, yaitu dengan menggunakan Bahasa Indonesia dan menggunakan bahasa asing. Interview dalam bahasa asing lazim digunakan pada proses recruitment perusahaan-perusahaan asing maupun perusahaan nasional berskala internasional. Hal ini dikarenakan dalam proses kinerja mereka yang berskala internasional, penggunaan bahasa asing merupakan hal yang mutlak karena mereka akan banyak berhubungan dengan orang-orang asing. Karena dari kesesuaian bahasa ini nantinya diharapkan akan tercipta kinerja yang baik dalam perusahaan asing tersebut. Adapun bahasa asing yang paling lazim dipergunakan dalam proses interview adalah Bahasa Inggris, disusul dengan berbagai bahasa asing yang lain seperti Mandarin, Jepang, Perancis, Jerman, dan lain sebagainya sesuai dengan kebutuhan dari tiap perusahaan.



Dalam dunia kerja, dikenal beberapa tipe wawancara kerja sebagai berikut:

1. Wawancara Seleksi (Screening Interview). Jika pelamar atau kandidat untuk menduduki jabatan berjumlah lebih dari satu orang maka dilakukan wawancara kerja untuk menyeleksi siapa diantara kandidat tersebut merupakan kandidat yang paling qualified sehingga bisa dilanjutkan ke tahap seleksi berikutnya. Wawancara seleksi biasanya berlangsung singkat antara 15 – 30 menit.

2. Wawancara Telepon (Telephone Interview). Demi menghemat biaya dan efisiensi waktu, banyak recruiter yang melakukan wawancara kerja melalui telepon. Oleh sebab itu, pelamar harus siap dihubungi sewaktu- waktu, sebab seringkali recruiter tidak memberikan pilihan bagi pelamar untuk menentukan waktu kapan ia siap diwawancarai melalui telepon.

3. Wawancara di Kampus / Sekolah (On-Campus Interview) . Meskipun tidak banyak perusahaan yang melakukan wawancara kerja di kampus, namun untuk perusahaan-perusaha an tertentu yang mencari para lulusan untuk dilatih lebih lanjut, cara ini dinilai sangat efektif karena memberikan akses bagi perusahaan tersebut untuk mendapatkan kandidat terbaik yang mungkin sangat sulit diperoleh jika menunggu para kandidat tersebut datang melamar.

4. Wawancara di Pameran Kerja (Job Fair Interview). Pameran kerja diadakan untuk menjembatani perusahaan dengan para pencari kerja. Pada pameran kerja biasanya, perusahaan memberikan berbagai :

• informasi mengenai perusahaannya, menerima surat lamaran dan CV dari pengunjung (pencari kerja), bahkan tidak jarang para recruiter langsung melakukan wawancara di stand (booth) mereka. Di Indonesia memang pameran seperti ini masih sangat jarang dilaksanakan jika dibandingkan dengan pameran otomotif, rumah maupun furniture.

• Wawancara di Lokasi Kerja (On-Site Interview). Ketika seorang kandidat telah lolos dalam tahap wawancara seleksi, seringkali perusahaan mengundang kandidat tersebut untuk melihat secara langsung lokasi kerja. Pada kesempatan tersebut recruiter biasanya langsung melakukan wawancara secara mendalam. Bagi pelamar yang belum memiliki pengalaman kerja pada lokasi yang lingkungannya kurang lebih sama, wawancara kerja di lokasi mungkin bisa terasa menakutkan karena • mungkin harus melakukan perjalanan dan berada di wilayah yang tidak ia kenal.

• Wawancara Kelompok (Panel or Group Interview). Wawancara kelompok adalah suatu jenis wawancara kerja dimana para pewawancara (recruiter) terdiri dari 2 (dua) orang atau lebih. Biasanya wawancara jenis ini dilakukan jika perusahaan memandang bahwa pelamar sudah hampir memenuhi syarat untuk diterima bekerja. Biasanya para penanya dalam wawancara inilah yang memiliki wewenang untuk memutuskan apakah pelamar akan diterima bekerja atau tidak.

• Wawancara Kasus (Case Interview). Wawancara kerja jenis ini menekankan pada kemampuan analisis dan pemecahan masalah terhadap suatu kasus tertentu. Biasanya dalam wawancara kasus, pelamar diminta untuk berperan sebagai pemegang jabatan yang ditawarkan, lalu diberikan sebuah kasus untuk dicarikan solusinya.

Kamis, 05 November 2009

PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH


SUB BIDANG SUB – SUB BIDANG
PEMERINTAH
PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA
1. Kelembagaan Koperasi
1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pembentukan, penggabungan dan peleburan, serta pembubaran koperasi.

2.a. Pengesahan dan pengumuman akta pendirian koperasi.

b. —

3. Pengesahan dan perubahan Anggaran Dasar (AD) yang menyangkut penggabungan, pembagian dan perubahan bidang koperasi.

4. Penetapan pembubaran koperasi.

5.a. Pembinaan dan Pengawasan Koperasi Simpan Pinjam (KSP) dan Unit Simpan Pinjam (USP) Koperasi di tingkat nasional.
1. Pelaksanaan kebijakan pembentukan, penggabungan, dan peleburan, serta pembubaran koperasi.

2.a. Pengesahan pembentukan, penggabungan dan peleburan, serta penetapan pembubaran koperasi lintas kabupaten/kota.
(Tugas Pembantuan)

b. Fasilitasi pelaksanaan pengesahan dan pengumuman akta pendirian koperasi lintas kabupaten/kota.

3. Fasilitasi pelaksanaan pengesahan dan perubahan AD yang menyangkut penggabungan, pembagian dan perubahan bidang usaha koperasi lintas kabupaten/kota.
4. Fasilitasi pelaksanaan pembubaran koperasi di tingkat provinsi.

5.a. Pembinaan dan pengawasan KSP dan USP koperasi di tingkat provinsi.

b. Fasilitasi pelaksanaan tugas dalam pengawasan KSP dan USP Koperasi di tingkat provinsi (Tugas Pembantuan).
1. Pelaksanaan kebijakan pembentukan, penggabungan, dan peleburan, serta pembubaran koperasi.

2.a. Pengesahan pembentukan, penggabungan dan peleburan, serta pembubaran koperasi dalam wilayah kabupaten/kota.
(Tugas Pembantuan)

b. Fasilitasi pelaksanaan pengesahan dan pengumuman akta pendirian koperasi dalam wilayah kabupaten/kota.

3. Fasilitasi pelaksanaan pengesahan perubahan AD yang menyangkut penggabungan, pembagian dan perubahan bidang usaha koperasi dalam wilayah kabupaten/kota.
4. Fasilitasi pelaksanaan pembubaran koperasi di tingkat kabupaten/kota sesuai dengan pedoman pemerintah di tingkat kabupaten/kota.

5. Pembinaan dan pengawasan KSP dan USP koperasi di tingkat kabupaten/kota.

b. Fasilitasi pelaksanaan tugas dalam pengawasan KSP dan USP Koperasi di tingkat kabupaten/kota
(Tugas Pembantuan).

2. Pemberdayaan Koperasi
1. Penetapan kebijakan pemberdayaan koperasi meliputi:

a. Prinsip kesehatan dan prinsip kehati-hatian usaha KSP dan USP;

b. Tata cara penyampaian laporan tahunan bagi KSP dan USP;

c. Tata cara pembinaan KSP dan USP;

d. Pembubaran dan penyelesaian akibat pembubaran KSP dan USP;

e. Pemberian sanksi administratif kepada KSP dan USP yang tidak melaksanakan kewajibannya;

2. Pengembangan iklim serta kondisi yang mendorong pertumbuhan dan pemasyarakatan koperasi.

3. Pemberian bimbingan dan kemudahan koperasi.

4. Perlindungan kepada koperasi.
1. Pelaksanaan kebijakan pemberdayaan koperasi meliputi:

a. Penciptaan usaha simpan pinjam yang sehat di tingkat provinsi sesuai dengan kebijakan pemerintah;

b. Bimbingan dan penyuluhan koperasi dalam pembuatan laporan tahunan KSP dan USP lintas kabupaten/kota;

c. Pembinaan KSP dan USP lintas kabupaten/kota;

d. Fasilitasi pelaksanaan pembubaran dan penyelesaian akibat pembubaran KSP dan USP lintas kabupaten/kota;

e. Pemberian sanksi administratif kepada KSP dan USP lintas kabupaten/kota yang tidak melaksanakan kewajibannya;

2. Pengembangan iklim serta kondisi yang mendorong pertumbuhan dan pemasyarakatan koperasi dalam wilayah provinsi.

3. Pemberian bimbingan dan kemudahan koperasi lintas kabupaten/kota.

4. Perlindungan kepada koperasi dalam wilayah provinsi.
1. Pelaksanaan kebijakan pemberdayaan koperasi meliputi:

a. Penciptaan usaha simpan pinjam yang sehat di tingkat kabupaten/kota sesuai dengan kebijakan pemerintah;

b. Bimbingan dan penyuluhan koperasi dalam pembuatan laporan tahunan KSP dan USP dalam wilayah kabupaten/kota;

c. Pembinaan KSP dan USP dalam wilayah kabupaten/kota;

d. Fasilitasi pelaksanaan pembubaran dan penyelesaian akibat pembubaran KSP dan USP dalam wilayah kabupaten/kota;

e. Pemberian sanksi administratif kepada KSP dan USP dalam wilayah kabupaten/kota yang tidak melaksanakan kewajibannya;

2. Pengembangan iklim serta kondisi yang mendorong pertumbuhan dan pemasyarakatan koperasi dalam wilayah kabupaten/kota.

3. Pemberian bimbingan dan kemudahan koperasi dalam wilayah kabupaten/kota.

4. Perlindungan kepada koperasi dalam wilayah kabupaten/kota.

3. Pemberdayaan UKM

1. Penetapan kebijakan pemberdayaan UKM dalam penumbuhan iklim usaha bagi usaha kecil di tingkat nasional meliputi:

a. Pendanaan/penyediaan sumber dana, tata cara dan syarat pemenuhan kebutuhan dana;

b. Persaingan;

c. Prasarana;

d. Informasi;

e. Kemitraan;

f. Perijinan;

g. Perlindungan.

2. Pembinaan dan pengembangan usaha kecil di tingkat nasional meliputi:

a. Produksi;

b. Pemasaran;

c. Sumber daya manusia;

d. Teknologi.

3. Fasilitasi akses penjaminan dalam penyediaan pembiayaan bagi UKM di tingkat nasional meliputi:

a. Kredit perbankan;

b. Penjaminan lembaga bukan bank;

c. Modal ventura;

d. Pinjaman dari dana pengasihan sebagai laba BUMN;

e. Hibah;

f. Jenis pembiayaan lain. 1. Penetapan kebijakan pemberdayaan UKM dalam penumbuhan iklim usaha bagi usaha kecil di tingkat nasional meliputi:

a. Pendanaan/penyediaan sumber dana, tata cara dan syarat pemenuhan kebutuhan dana;

b. Persaingan;

c. Prasarana;

d. Informasi;

e. Kemitraan;

f. Perijinan;

g. Perlindungan.

2. Pembinaan dan pengembangan usaha kecil di tingkat nasional meliputi:

a. Produksi;

b. Pemasaran;

c. Sumber daya manusia;

d. Teknologi.

3. Fasilitasi akses penjaminan dalam penyediaan pembiayaan bagi UKM di tingkat nasional meliputi:

a. Kredit perbankan;

b. Penjaminan lembaga bukan bank;

c. Modal ventura;

d. Pinjaman dari dana pengasihan sebagai laba BUMN;

e. Hibah;

f. Jenis pembiayaan lain. 1. Penetapan kebijakan pemberdayaan UKM dalam penumbuhan iklim usaha bagi usaha kecil di tingkat nasional meliputi:

a. Pendanaan/penyediaan sumber dana, tata cara dan syarat pemenuhan kebutuhan dana;

b. Persaingan;

c. Prasarana;

d. Informasi;

e. Kemitraan;

f. Perijinan;

g. Perlindungan.

2. Pembinaan dan pengembangan usaha kecil di tingkat nasional meliputi:

a. Produksi;

b. Pemasaran;

c. Sumber daya manusia;

d. Teknologi.

3. Fasilitasi akses penjaminan dalam penyediaan pembiayaan bagi UKM di tingkat nasional meliputi:

a. Kredit perbankan;

b. Penjaminan lembaga bukan bank;

c. Modal ventura;

d. Pinjaman dari dana pengasihan sebagai laba BUMN;

e. Hibah;

f. Jenis pembiayaan lain.
4. Pengawasan, Monitoring, dan Evaluasi

1. Pengawasan, monitoring, dan evaluasi upaya pemberdayaan koperasi dan UKM.
1. Pengawasan, monitoring, dan evaluasi upaya pemberdayaan Koperasi dan UKM lintas kabupaten/kota.
1. Pengawasan, monitoring, dan evaluasi upaya pemberdayaan Koperasi dan UKM dalam wilayah kabupaten/kota.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 KESIMPULAN
Koperasi simpan pinjam memperjuang hal tersebut dan sangat berhasil dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat masing-masing. Uang pasti penting, tetapi yang ingin disampaikan melalui laporan ini adalah kepentingan pembinaan yang jauh lebih tinggi. Tanpa pimbinaan tidak bisa berkembang, dan koperasi simpan pinjam di Indonesia sekarang memperjuangkan haknya untuk mencapai pembinaan dan perkembangan menuju kemandirian.
3.2 SARAN
Mengacu pada pembahasan makalah dan kesimpulan di atas maka berikut ini disampaikan beberapa saran yang diharapkan dapat bermanfaat dalam upaya memperkuat dan mengembangkan koperasi simpan pinjam.
1. Koperasi simpan pinjam harus berusaha untuk menjadi lebih berhasil di semua kegiatan. Harus ada tujuan dan harapan untuk masa depan dan selalu harus berfokus kepada mengatasi masalah dan mengembangkan pelayanan baru yang lebih baik.
2. Koperasi simpan pinjam merupakan kunci besar dalam mengurangi kemiskinan di Indonesia. Koperasi simpan pinjam menyediakan pelayanan sederhana yang diperlukan oleh kelas bawah dalam mencari jalan keluar dari keadaan yang susah. Koperasi simpan pinjam sudah membantu ribuan orang Indonesia. Dengan keterlibatan pemerintah dan koperasi secara tegas dan berkelanjutan, tidak menutup kemungkinan bahwa perekonomian Indonesia menjadi lebih baik.

KONSEP KOPERASI


Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Pernyataan tersebut merupakan sila kelima dari Pancasila Indonesia. Sila ini berarti tugas dan kewajiban kita masing-masing untuk mengurangi atau menghilangkan kemiskinan di seluruh kepulauan Indonesia. Di Indonesia pada saat ini ada ribuan orang miskin. Menurut Bank Dunia, persentase penduduk Indonesia yang miskin masih 16.0 per sen. Masyarakat Indonesia, khususnya yang tinggal di desa, tidak memiliki konsep tabungan, padahal bisa dikatakan bahwa masih ada beberapa hambatan tabungan, misalnya keadaan hidup mereka yang pas-pasan, hambatan psikologis dan pola penabungan tradisional, yaitu tabungan secara ayam, hewan, motor dan sebagainya. Menurut Nugroho misalnya,
“…dalam komunitas pedesaan jawa, hutang merupakan tindakan sosial yang memiliki konotasi negative dan cenderung tabu dibicarakan…”
Oleh karena itu, orang Indonesia perlu bimbingan dan pendidikan terhadap baik konsep maupun pelaksanaan tabungan. Orang miskin merupakan risiko. Akan tetapi, menurut Remenyi orang miskin merupakan risiko baik dan aset bukan pertanggung. Sikap seperti ini dan juga dengan pengertian Yunus bahwa artinya kredit adalah kepercayaan, sudah menyebabkan fenomena koperasi simpan pinjam berkembang di negaraIndonesia.

2.1.2. Konsep Koperasi
Sebagai koperasi, ada beberapa peraturan dan syarat yang harus diikuti oleh koperasi masing-masing. Syarat-syarat dan peraturan tersebut merupakan formalitas yang penting dalam pelaksanaan sehari-hari. Pemerintah Indonesia berperan aktif dalam kehidupan koperasinya. Menurut pasal 37 dalam Undang-Undang no.12 tahun 1967, pemerintah berkewajiban untuk memberikan bimbingan, pengawasan, perlindungandan fasilitas terhadap koperasi serta memampukannya untuk melaksanakan pasal 33 UUD 1945. Oleh karena pendukungan ini, perkembangan koperasi diIndonesia naik secara terus-menerus.
Menurut Hendrojogi,
“ Koperasi adalah perkumpulan otonom dari orang-orang yang bergabung secara sukarela untuk menemuhi kebutuhan dan aspirasi ekonomi, sosial dan budaya mereka yang sama melalui pemisahan yang dimiliki dan diawasi secara demokratis.”
Menurut Undang-Undang (UU) no.12 tahun 1967, pasal 4, koperasi Indonesia memiliki berfungsi sebagai:
a) alat perjuangan ekonomi untuk mempertinggi kesejahteraan rakyat
b) alat perdemokrasian ekonomi nasional
c) salah satu urat nadi perekonomian bangsa Indonesia
d) alat pembina insane masyarakat untuk memperkokoh kedudukan ekonomi bangsa Indonesia bersatu dalam mengatur tata laksana perekonomian rakyat.
Yang penting juga adalah mempertinggi taraf hidup anggotanya, meningkatkan produksi dan mewujudkan pendapatan yang adil dan kemakmuran yang merata. Selanjutnya, koperasi Indonesia wajib memiliki dan berlandaskan nilai-nilai menolong diri-sendiri, bertanggung jawab kepada diri-sendiri, demokrasi, persamaan, keadilan dan solidaritas.

2.1.3. Prinsip Koperasi
Ketentuan dan prinsip koperasi juga cukup banyak dan berasal dari UU no. 79 tahun 1958. Prinsip-prinsip koperasi sebagai berikut:
a) berasas kekeluargaan (gotong-royong)
b) bertujuan mengembangkan kesejahteraan anggotanya pada khususnya dan kesejahteraan masyarakat dan daerah bekerjanya pada umumnya
c) dengan berusaha:
i. mewajibkan dan mengingatkan anggotanya untuk menyimpan secara teratur
ii. mendidik anggotanya ke arah kesadaran (berkoperasi)
iii. menyelenggarakan salah satu atau beberapa usaha dalam lapangan perekonomian
d) keanggotaan berdasar sukarela mempunyai kepentingan, kewajiban dan hak yang sama, dapat diperoleh dan akhiri setiap waktu dan menurut kehendak yang berkepentingan, setelah syarat-syarat dalam anggaran dasar terpenuhi
Undang-undang tersebut diperbarui pada tahun 1992 dengan UU no.25, pasal 33 yang menetapkan yang berikut:
1. Keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka
2. Pengelolaan dilakukan secara demokratis
3. Pembagian sisa hasil usaha (SHU) dilakukan adil dan sebanding dengan besarnya jasa usaha masing-mading anggota
4. Pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal
5. Kemandirian
Bisa dilihat dari definisi dan ketentuan koperasi bahwa koperasi Indonesia dalam konteks umum bertujuan untuk kesejahteraan dan kemanfaatan anggota serta mewujudkan masyarakat yang maju, adil dan makmur berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.
Fokus pemerintah terhadap pendirian koperasi menyebabkan pertumbuhan koperasi yang luar biasa di seluruh kepulauan Indonesia. Padahal, jumlah koperasi dan anggotanya meningkat 2 kali lipat pada akhir tahun 2001 dibandingkan dengan Desember 1998. Yang paling dominan adalah koperasi kredit, dan jumlah koperasi yang masih terkait dengan program pemerintah tinggal 25%. Berdasarkan pasal 2, PP 60/1959 ada 7 jenis koperasi. Yaitu,
1. Koperasi Desa
2. Koperasi Pertanian
3. Koperasi Perternakan
4. Koperasi Perikanan
5. Koperasi Kerajinan/Industri
6. Koperasi Simpan Pinjam
7. Koperasi Konsumsi

2.1.4. Koperasi Simpan Pinjam
Fokus makalah ini adalah Koperasi simpan pinjam. Koperasi sejenis ini didirikan untuk memberi kesempatan kepada anggotanya memperoleh pinjaman dengan mudahdan bunga ringan. Koperasi simpan pinjam berusaha untuk,
“…mencegah para anggotanya terlibat dalam jeratan kaum lintah darat pada waktu mereka memerlukan sejumlah uang…dengan jalan menggiatkan tabungandan mengatur pemberian pinjaman uang…dengan bunga yang serendah-rendahnya…”
Koperasi simpan pinjam menghimpun dana dari para anggotanya yang kemudian menyalurkan kembali dana tersebut kepada para anggotanya. Menurut Widiyanti dan Sunindhia, koperasi simpan pinjam memiliki tujuan untuk mendidik anggotanya hidup berhemat dan juga menambah pengetahuan anggotanya terhadap perkoperasian.
Untuk mencapai tujuannya, berarti koperasi simpan pinjam harus melaksanakan aturan mengenai peran pengurus, pengawas, manajer dan yang paling penting, rapat anggota. Pengurus berfungsi sebagai pusat pengambil keputusan tinggi, pemberi nasehat dan penjaga berkesinambungannya organisasi dan sebagai orang yang dapat dipercaya. Menurut UU no.25 tahun 1992, pasal 39, pengawas bertugas melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijaksanaandan pengelolaan koperasi dan menulis laporan koperasi, dan berwewenang meneliti catatan yang ada pada koperasi, mendapatkan segala keterangan yang diperlukan dan seterusnya. Yang ketiga, manajernya koperasi simpan pinjam, seperti manajer di organisasi apapun, harus memiliki ketrampilan eksekutif, kepimpinan, jangkauan pandangan jauh ke depan dan mememukan kompromi dan pandangan berbeda. Akan tetapi, untuk mencapai tujuan, rapat anggota harus mempunyai kekuasaan tertinggi dalam organisasi koperasi. Hal ini ditetapkan dalam pasal 22 sampai pasal 27 UU no.25 tahun 1992.
2.1.5. Sumber Permodalan
Seperti dalam semua perusahaan harus ada sumber permodalan. Menurut UU no 12. tahun 1967, sumber permodalan untuk koperasi adalah sebagai berikut:
a) Simpanan pokok – yaitu semjumlah uang yang diwajibkan kepada anggota untuk diserahkan kepada koperasi pada waktu masuk, besarnya sama untuk semua anggota, tidak dapat diambil selama anggota, menanggung kerugian.
b) Simpanan wajib – yaitu simpanan tertentu yang diwajibkan kepada anggota untuk membayarnya kepada koperasi pada waktu tertentu, ikut menanggung kerugian.
c) Simpanan sukarela – berdasarkan perjanijian atau peraturan khusus.
Selanjutnya, sumber permodalan boleh berasal dari koperasi lain, bank atau lembaga keuangan lain. Di samping ini, sumber permodalan boleh berasal dari cadangan, yang menurut pasal 41 Undang-undang no.25 tahun 1992, adalah sejumlah uang yang diperoleh dari penyisihan sisa usaha yang dimasukkan untuk memupuk modal sendiri dan untuk menutup kerugian koperasi bila diperlukan. Yang jelas, sumber permodalan koperasi harus berasal dari lembaga yang sah dan akan berbeda di setiap koperasi.
Walaupun pengertian tersebut baik luas maupun panjang, diperlukan untuk mendapatkan pemahaman terhadap koperasi yang ada di Indonesia pada saat ini. Bisa dilihat bahwa peraturan dan prisip-prinsip koperasi cukup banyak dan tujuannya sangat luas. Oleh karena itu, peran koperasi di ekonomi Indonesia sangat penting.
2.2. Sejarah Koperasi di Indonesia
2.2.1. Zaman Belanda
Sejarah Koperasi di Indonesia, khususnya koperasi simpan pinjam, mulai pada waktu penjajahan oleh Belanda. Konsep koperasi pertama kali diperkenalkan oleh Raden Ana Wiraatmaja, seorang Patih di Purwokerto dengan pendirian bank khusus untuk menolong para pegawai agar tidak terjerat oleh rentenir. Bank ini dinamakan Bank Penolongan dan Tabungan. Pada tahun 1915, ada UU Koperasi yang pertama, yaitu, Verordenin op de Cooperative Vereenigingen. Bisa dikatakan bahwa dengan pelaksanaan UU ini, pemerintah Belanda memang tidak secara ikhlas dan tulus akan mengembangkan dan memajukan koperasi di Indonesia. Jadi, bisa dilihat bahwa negara Indonesia masuk gerakan koperasi sebelum mencapai kemerdekaan.
2.2.2. Zaman Jepang
Dengan pendudukan Jepang pada tahun-tahun akhir Perang Dunia II, gerakan koperasi di Indonesia berubah secara drastis. Menurut Widiyanti dan Sunindhia, koperasi yang ada di Indonesia pada waktu itu “dihancurkan sama sekali” oleh Jepang. Pemerintah mengeluarkan UU no.23 tahun 1942 yang antara lain menentukan bahwa untuk mendirikan perkumpulan dan mengadakan rapat-rapat harus minta ijin terlebih dulu pada residen. Padahal, koperasi menjadi alat pemerintahan militer Jepang untuk mengadakan pengumpulan dan distribusi barang- barang, berdasarkan ketentuan dan kebutuhan perangnya di pasifik. Oleh karena ini, koperasi Indonesia hampir terpaksa mulai lagi dengan deklarasi kemerdekaan pada tahun 1945.
2.2.3. Zaman Awal Kemerdekaan
Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya pada tahun 1945. Padahal, ketentuan koperasi ditetapkan di undang-undang dasar 1945. Menurut pasal 33, perekonomian Indonesia disusun berdasarkan asas berikut:
1. Demokrasi ekonomi
2. Kekeluargaan
3. Kebersamaan
4. Individualisme ditolak
5. Keadilan sosial
Yang jelas, cocok dengan asas-asas ini adalah koperasi, jadi Undang-undang ini menjamin berlangsungannya perkoperasian di negara Indonesia. Selanjutnya, ada beraneka ragam Undang-undang tentang perkoperasikan yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia, sehingga perkembangan koperasi mengalami percepatan karena adanya kemudahan bagi masyarakat untuk mendirikan koperasi. Pada tahun 1939, jumlah koperasi yang ada di Indonesia adalah 574, sedangkan pada tahun 1958, jumlah ini sudah mencapai 11.863 koperasi. Koperasi tumbuh dengan keinginan masyarakat setempat dalam upayanya meningkatkan kesejahteraan. Koperasi yang didirikan termasuk, koperasi pertanian, perikanan, unggas, konsumsi dan juga koperasi desa. Akan tetapi, dengan fenomena liberalisme yang ada di Indonesia pada waktu menjelang zaman orde baru, tidak ada jalan lancar untuk koperasi oleh karena gerakan politik yang makin lama makin kuat. Di antara tahun 1959 sampi 1965 ada banyak penyalahgunaan oleh pengelola di koperasi Indonesia. Kenyataannya, koperasi Indonesia makin lama makin kehilangan sifatnya sebagai koperasi yang sebenarnya. Bisa dikatakan bahwa koperasi dijadikan alat distribusi sebagai propaganda politik.
2.2.4. Zaman Orde Baru
Di bawah pemerintahan Presiden Suharto, koperasi Indonesia mengalami pembersihan untuk mengembalikan fungsi yang hakiki dari gerakan koperasi Indonesia, agar dapat berjalan sesuai dengan pasal 33 UUD tahun 1945. Jadi dirumuskan kebijaksanaan baru. Ini diwujudkan dengan PELITA I, tahun 1969-1973. Keberhasilannya bisa dilihat di tabel berikut.
Tabel 1.1 Pertumbuhan banyaknya koperasi dan anggota pada tahun 1969-1973
Tahun Jumlah Koperasi Jumlah Anggota
1969 13 349 2 723 056
1970 16 263 2 931 340
1971 16 755 2 750 193
1972 18 054 2 791 076
1973 18 850 2 921 750
Sumber: Dra. Ninik Widiyanti & Y.W Sunindhia, S.H., Koperasi dan Perekonomian Indonesia, 2003, PT Rineka Cipta & PT Bina Adiaksara, Jakarta, hlm., 95.
Sejak Orde Baru, gerakan koperasi di Indonesia makin lama makin besar, hal ini terbukti dengan banyaknya koperasi baru yang didirikan di seluruh daerah di Indonesia.

BELAJAR KOPERASI

bung-hatta-wikipedia.jpgSebagai Bapak Koperasi Indonesia, Bung Hatta pernah berkata : bukan Koperasi namanya manakala di dalamnya tidak ada pendidikan tentang Koperasi.

Meskipun sudah berusia 60 tahun lebih (dan 61 tahun pada tanggal 12 Juli 2008 nanti) apa itu Koperasi belum begitu dipahami dengan benar oleh bangsa Indonesia. Bahkan banyak paara anggota Koperasi yang belum tahu makna dari mahluk yang bernama Koperasi ini.

Koperasi: Mahluk apa itu?

Koperasi adalah asosiasi [1] orang-orang yang bergabung dan melakukan usaha bersama atas dasar prinsip-prinsip Koperasi, sehingga mendapatkan manfaat yang lebih besar dengan biaya yang rendah melalui perusahaan yang dimiliki dan diawasi secara demokratis oleh anggotanya.

Koperasi bertujuan untuk menjadikan kondisi sosial dan ekonomi anggotanya lebih baik dibandingkan sebelum bergabung dengan Koperasi.

Dari pengertian di atas dapat diuraikan sebagai berikut:

  1. Asosiasi orang-orang. Artinya, Koperasi adalah organisasi yang terdiri dari orang-orang yang terdiri dari orang-orang yang merasa senasib dan sepenanggungan, serta memiliki kepentingan ekonomi dan tujuan yang sama.
  2. Usaha bersama. Artinya, Koperasi adalah badan usaha yang tunduk pada kaidah-kaidah ekonomi yang berlaku, seperti adanya modal sendiri, menanggung resiko, penyedia agunan, dan lain-lain.
  3. Manfaat yang lebih besar. Artinya, Koperasi didirikan untuk menekan biaya, sehingga keuntungan yang diperoleh anggota menjadi lebih besar.
  4. Biaya yang lebih rendah. Dalam menetapkan harga, Koperasi menerapkan aturan, harga sesuai dengan biaya yang sesungguhnya, ditambah komponen lain bila dianggap perlu, seperti untuk kepentingan investasi.

Menurut UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, pengertian Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum Koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan.

Sementara menurut ICA[2] Cooperative Identity Statement, Manchester, 23 September 1995, Koperasi adalah perkumpulan otonom dari orang-orang yang bersatu secara sukarela untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi ekonomi, sosial, dan budaya bersama melalui perusahaan yang mereka miliki bersama dan mereka kendalikan secara demokratis.

Prinsip-prinsip Koperasi[3]

Koperasi bekerja berdasarkan beberapa prinsip. Prinsip ini merupakan pedoman bagi Koperasi dalam melaksanakan nilai-nilai Koperasi.

  1. Keanggotaan sukarela dan terbuka. Koperasi adalah organisasi yang keanggotaannya bersifat sukarela, terbuka bagi semua orang yang bersedia menggunakan jasa-jasanya, dan bersedia menerima tanggung jawab keanggotaan, tanpa membedakan gender, latar belakang sosial, ras, politik, atau agama.
  2. Pengawasan oleh anggota secara demokratis. Koperasi adalah organisasi demokratis yang diawasi oleh anggotanya, yang secara aktif menetapkan kebijakan dan membuat keputusaan laki-laki dan perempuan yang dipilih sebagai pengurus atau pengawas bertanggung jawab kepada Rapat Anggota. Dalam Koperasi primer, anggota memiliki hak suara yang sama (satu anggota satu suara) dikelola secara demokratis.
  3. Partisipasi anggota dalam kegiatan ekonomi. Anggota menyetorkan modal mereka secara adil dan melakukan pengawasan secara demoktaris. Sebagian dari modal tersebut adalah milik bersama. Bila ada balas jasa terhadap modal, diberikan secara terbatas. Anggota mengalokasikan SHU untuk beberapa atau semua dari tujuan seperti di bawah ini : a) Mengembangkan Koperasi. Caranya dengan membentuk dana cadangan, yang sebagian dari dana itu tidak dapat dibagikan. b) Dibagikan kepada anggota. Caranya seimbang berdasarkan transaksi mereka dengan koperasi. c) Mendukung keanggotaan lainnya yang disepakati dalam Rapat Anggota.
  4. Otonomi dan kemandirian. Koperasi adalah organisasi otonom dan mandiri yang diawasi oleh anggotanya. Apabila Koperasi membuat perjanjian dengan pihak lain, termasuk pemerintah, atau memperoleh modal dari luar, maka hal itu haarus berdasarkan persyaratan yang tetap menjamin adanya upaya: a) Pengawasan yang demokratis dari anggotanya. b) Mempertahankan otonomi koperasi.
  5. Pendidikan, pelatihan dan informasi. Koperasi memberikan pendidikan dan pelatihan bagi anggota, pengurus, pengawas, manager, dan karyawan. Tujuannya, agar mereka dapat melaksanakan tugas dengan lebih efektif bagi perkembangan Koperasi. Koperasi memberikan informasi kepada maasyarakat umum, khususnya orang-orang muda dan tokoh-tokoh masyaralat mengenai hakekat dan manfaat berkoperasi.
  6. Kerjasamaa antar koperasi. Dengan bekerjasama pada tingkat lokal, regional dan internasional, maka: a) Gerakan Koperasi dapat melayani anggotanya dengan efektif. b) Dapat memperkuat gerakan Koperasi.
  7. Kepedulian terhadap masyarakat. Koperasi melakukan kegiatan untuk pengembangan masyarakat sekitarnya secara berkelanjutan melalui kebijakan yang diputuskan oleh Rapat Anggota.

Sementara itu Prinsip Koperasi menurut UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang perkoperasian adalah:

  1. Keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka.
  2. Pengelolaan dilakukan secara demokratis.
  3. Pembagian sisa hasil usaha dilakukan secara adil sebanding dengan besarnya jasa usaha masing-masing anggota.
  4. Pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal.
  5. Kemandirian.
  6. Pendidikan perkoperasian.
  7. Kerja sama antar Koperasi.

Sumber: Tim LAPENKOP Nasional, Lebih Mengenal Koperasi, Diterbitkan oleh LAPENKOP Nasional, Gedung D-III Lantai II, Kampus IKOPIN, Jl. Raya Bandung Sumedang Km 20,5 Jatinangor – Bandung 40600, www.lapenkop.coop, Lapenkop@lapenkop.coop




[1] Asosiasi berbeda dengan kelompok. Asosiasi terdiri dari orang-orang yang memiliki kepentingan yang sama. Lazimnya, yang menonjol adalah kepentingan ekonominya. Sedangkan kelompok terdiri dari orang-orang yang belum tentu memiliki kepentingan yang sama. Umumnya yang menonjol adalah unsul sosialnya.

[2] ICA adalah gabungan gerakan Koperasi internasional yang beranggotakan 700 juta orang lebih, berasal dari 70 negara, berpusat di Genewa, Swiss. Untuk wilayah Asia-Pasifik berkantor di New Dehli, India.

[3] Prinsip yang dianut oleh gerakan Koperasi internasional saat ini adalah yang dicetuskan pada kongres ICA (International Cooperative Alliance) di Mancchester, Inggris pada tanggal 23 September 1995.

20% Koperasi di Bekasi tidak aktif


BEKASI: Lebih dari 20% koperasi yang ada di Bekasi, atau sejumlah 138 koperasi yang tersebar di 12 kecamatan, dinyatakan tidak aktif karena bangkrut, atau tidak pernah melaksanakan rapat anggota tahunan selama 2 tahun berturut-turut.

Kepala Bidang Koperasi, Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi (Disperankop) Bekasi Rudi Sabarudin menyatakan tidak aktifnya 138 unit koperasi tersebut juga diakibatkan oleh hilangnya kepercayaan anggota pada pengelolaan keuangan yang tidak transparan.

"Jumlah koperasi yang tidak aktif berikut penyebabnya itu kami ketahui setelah melakukan survei dan pendataan ulang. Dari survei itu pula terungkap, ternyata banyak koperasi yang tinggal papan nama dan sudah ditinggalkan anggotanya," ujarnya di Bekasi, kemarin.

Rudi menjelaskan jumlah koperasi di Bekasi yang terdaftar di Disperankop sampai Agustus 2009 sendiri mencapai 624 unit dengan jumlah anggota 65.646 serta pengurus 1.695 orang. Dari 624 koperasi itu, 20% lebih di antaranya atau sebanyak 138 unit tidak aktif.

"Jenis koperasi yang dinyatakan tidak aktif kebanyakan adalah koperasi karyawan yang disebabkan perusahaannya tutup atau pindah ke lokasi lain, serta koperasi yang ditinggalkan anggotanya karena konflik di dalam tubuh pengurus," katanya.

Adapun, faktor penyebab tutupnya koperasi itu adalah ketidakpahaman pengelolaan koperasi. Ada juga yang keberadaannya hanya dimanfaatkan oleh pendiri dan segelintir pengurus untuk kepentingan pribadi tanpa mempertimbangkan kepentingan anggota.

"Padahal koperasi dibangun untuk kepentingan bersama dari dewan pendiri dan anggotanya dengan semangat kemandirian. Hal itulah yang membuat pihak luar tidak bisa ikut campur dalam pengelolaan koperasi," katanya.

Senin, 02 November 2009

Koperasi Simpan Pinjam (Kosipa) Ditinjau dari Syariat Islam


Koperasi Simpan Pinjam (KOSIPA) adalah sebuah koperasi yang modalnya diperoleh dari simpanan pokok dan simpanan wajib para anggota koperasi. Kemudian modal yang telah terkumpul tersebut dipinjamkan kepada para anggota koperasi dan terkadang juga dipinjamkan kepada orang lain yang bukan anggota koperasi yang memerlukan pinjaman uang, baik untuk keperluan komsumtif maupun untuk modal kerja. Kepada setiap peminjam, KOSIPA menarik uang administrasi setiap bulan sejumlah sekian prosen dari uang pinjaman.

Koperasi Simpan Pinjam (KOSIPA) adalah sebuah koperasi yang modalnya diperoleh dari simpanan pokok dan simpanan wajib para anggota koperasi. Kemudian modal yang telah terkumpul tersebut dipinjamkan kepada para anggota koperasi dan terkadang juga dipinjamkan kepada orang lain yang bukan anggota koperasi yang memerlukan pinjaman uang, baik untuk keperluan komsumtif maupun untuk modal kerja. Kepada setiap peminjam, KOSIPA menarik uang administrasi setiap bulan sejumlah sekian prosen dari uang pinjaman.

Pada akhir tahun, keuntungan yang diperoleh KOSIPA yang berasal dari uang administrasi tersebut yang disebut "Sisa Hasil Usaha" (SHU) dibagikan kepada para anggota koperasi. Adapun jumlah keuntungan yang diterima oleh masing-masing anggota koperasi diperhitungkan menurut keseringan anggota meminjam uang dari KOSIPA. Artinya, anggota yang paling sering meminjam uang dari KOSIPA tersebut akan mendapat bagian paling banyak dari SHU; dan tidak diperhitungkan dari jumlah simpanannya, karena pada umumnya jumlah simpanan pokok dan simpanan wajib dari masing-masing anggota adalah sama.

Sekilas lintas KOSIPA ini nampak seperti usaha gotong royong yang meringankan beban para anggota, menolong mereka dari jeratan lintah darat dan menguntungkan mereka sendiri, karena SHU dari KOSIPA tersebut mereka terima setiap akhir tahun. Sehingga karenanya, tidaklah mengherankan jika ada orang yang menyamakan praktek mu'amalah (simpan pinjam) dari KOSIPA ini dengan praktek mu'amalah (simpan pinjam) dari Bank yang hukumnya telah ditetapkan dalam Muktamar NU di Menes Jawa Barat ditafsil menjadi tiga, yaitu: haram, syubhat, halal. Padahal ada perbedaan yang prinsip antara mu'amalah dari KOSIPA dan mu'amalah dari Bank, yaitu:

Orang yang meminjam uang dari KOSIPA, meskipun jumlahnya hanya separo dari uang simpanannya sendiri, dia tetap dianggap sebagai peminjam yang diharuskan membayar uang administrasi. Mu'amalah ini sama sekali tidak dapat diterima oleh akal fikiran yang sehat (irrational). Sedang di Bank, seseorang diperbolehkan mengambil seluruh uang simpanannya, kecuali sejumlah sekian ribu yang harus disisakan sebagai bukti bahwa dia masih tercatat sebagai nasabah, dan dia tidak dianggap sebagai peminjam dan juga tidak dikenakan bunga.

Uang yang disimpan di KOSIPA, baik simpanan pokok maupun simpanan wajib, tidak dapat diambil sewaktu-waktu diperlukan oleh si penyimpan; sedangkan uang yang disimpan di Bank dapat diambil sewaktu-waktu diperlukan oleh si penyimpan. Bunga yang diberikan oleh Bank kepada orang yang menyimpan uangnya di Bank tersebut hanya diperhitungkan dengan jumlah uang yang disimpan; sedang di KOSIPA pembagian SHU tidak hanya diperhitungkan dengan uang simpanannya, melainkan dengan keseringan meminjam uang dari KOSIPA tersebut.

Disamping itu, hukum tafsil dari menyimpan dan meminjam pada Bank yang telah diputuskan oleh Mu'tamar NU di Menes seperti tersebut di atas, bukanlah berarti kita boleh memilih salah satu dari ketiga hukum tersebut sesuka hati kita. Akan tetapi penerapan dari ketiga hukum tersebut adalah per kasus.
Kasus 1

Seorang pemborong muslim yang memperoleh kontrak untuk membangun sebuah pabrik besar yang biayanya menelan sekian milyar rupiah. Dari pekerjaan tersebut dia akan memperoleh keuntungan secara jelas sejumlah sekian juta rupiah yang di antaranya dapat dipergunakan untuk kepentingan agama Islam. Sedangkan jika kontrak tersebut tidak ditangani olehnya akan diambil oleh pemborong non-muslim yang jelas keuntungannya akan dipergunakan untuk hal-hal yang merugikan agama Islam. Akan tetapi si pemborong muslim tersebut tidak mempunyai modal cukup untuk membiayai proyek pembuatan pabrik tersebut. Dalam kasus seperti ini, si pemborong muslim tersebut dihalalkan untuk memminjam uang dari Bank.

Demikian pula halnya seseorang yang sejumlah uang, sedangkan dia tidak dapat men-tasaruf-kan uang tersebut untuk usaha dagang atau lainnya, karena sama sekali tidak mempunyai pengalaman; dan apabila uang tersebut disimpan di rumah takut dicuri orang dan lain sebagainya, serta akan lekas habis untuk membiayai keperluan hidup diri dan keluarganya sebelum umur _ghalib), maka dalam kasus seperti ini orang tersebut dihalalkan untuk menyimpan uangnya di Bank dan memakan bunganya.
Kasus 2

Seorang pemilik rumah tempat indekos anak-anak sekolah di sebuah kota kecil, kemudian dia meminjam uang dari bank untuk memperbesar rumah tersebut karena membayangkan (tanpa ada indikasi yang jelas) akan dipenuhi oleh anak-anak sekolah yang indekos di situ, sehingga akan menambah jumlah uang yang masuk. Dalam kasus seperti ini, si pemilik rumah tersebut dihukumi syubhat meminjam uang dari Bank untuk memperbesar rumah indekosan tersebut.

Demikian pula halnya seorang pedagang yang karena situasi ekonomi yang labil, dia tidak lagi mau menginvestasikan modalnya dalam perdagangan karena khawatir tidak mendapat laba yang besar, kemudian dia simpan modalnya di Bank yang jelas akan mendapat bunga tanpa susah payah. Maka dalam kasus ini si pedagang tersebut dihukumi syubhat untuk menyimpan uangnya di Bank dan memakan bunganya.
Kasus 3

Orang yang meminjam uang dari Bank untuk keperluan membeli pesawat TV atau alat-alat mebelair atau lainnya yang bersifat konsumtif, hukumnya adalah haram.

Demikian pula halnya orang yang tidak mau menginvestasikan uangnya dalam perdagangan atau lainnya, karena melihat bunga yang ditawarkan oleh Bank jauh lebih besar dari pada keuntungan yang dapat diterima dari bisnis perdagangan atau lainnya. Dalam kasus seperti ini orang tersebut haram menyimpan uangnya di Bank dan juga haram memakan bunga yang diberikan oleh Bank.

Adapun KOSIPA ditinjau dari hukum syariat Islam, maka:

Modal yang dikumpulkan oleh KOSIPA dari uang simpanan pokok dan simpanan wajib, tidak dapat memenuhi ketantuan "Syirkah" sebagaimana yang disebutkan dalam kitab-kitab fikih.

Hal ini dikarenakan:

* Dalam syirkah, pengumpulan modal itu diharuskan berupa lafal yang dapat dirakan sebagai pemberian idzin untuk berdagang. Sedangkan dalam KOSIPA pengumpulan modal tersebut adalah untuk dipinjamkan.
* Dalam syirkah, modal harus sudah terkumpul sebelum dilakukan akad syirkah. Sedangkan dalam KOSIPA, biasanya modal baru dikumpulkan sesudah akad dengan persetujuan dari para anggota. Jadi akad pengumpulan modal dalam KOSIPA tersebut tidak mengikuti ketentuan syara'.

Dasar Pengambilan Hukum
Kitab Fat-hul Mu'in halaman 80
وَشُرِطَ فِيْهَا لَفْظٌ يَدُلُّ عَلَى الإِذْنِ فِى التَّصَرُّفِ بِالْبَيْعِ وَالشِّرَاءِ .

"Dan dalam syirkah itu disyaratkan ada lafal yang menunjukkan kepada izin untuk mentasarufkan dalam menjual dan membeli (berdagang).

Yang senada dengan dalil di atas, adalah ibarat dari kitab-kitab:

* Nihayatul Muhtaj, juz 5 halaman 4.
* Bujairimi 'ala Fat-hil Wahhab juz 3 halaman 43.

Kitab Tuhfatut Thullaab, hamisy dari kitab Fat-hul Wahhaab, juz 1 halaman 217, disebutkan:
هِيَ شِرْكَةُ أَبْدَانٍ ... اِلَى اَنْ قَالَ : وَشُرِطَ فِيْهَا لَفْظٌ يُشْعَرُ بِاِذْنٍ فِى تِجَارَةٍ ... اِلَى اَنْ قَالَ : وَفِى الْمَعْقُوْدِ عَلَيْهِ كَوْنُهُ مِثْلِيًّا خَلَطَ قَبْلَ الْعَقْدِ بِحَيْثُ لاَ يُتَمَيَّزُ .

"Syirkah itu (antara lain) adalah syirkan badan ... sampai ucapan mushannif: "Dalam syirkah tersebut disyaratkan ada lafal yang dapat dirasakan sebagai idzin dalam perdagangan" ... sampai ucapan mushannif: "Dan mengenai harta yang diakadi, disyaratkan keadaan harta (modal syirkah) tersebut adalah sama jumlahnya yang telah bercampur menjadi satu sebelum akad, sekira tidak dapat dibedakan (antara harta dari masing-masing anggota syirkah).

Uang administrasi yang dipungut oleh KOSIPA dari setiap orang yang meminjam, hanyalah merupakan istilah lain dari bunga, karena:

1. Uang administrasi tersebut merupakan keharusan yang harus dipenuhi oleh setiap orang yang meminjam uang, sehingga pada hakekatnya tidak berbeda dengan manfa'at yang ditarik oleh yang meminjamkan uang (KOSIPA).
2. Besarnya uang administrasi yang dipungut oleh KOSIPA dari setiap orang yang meminjam uang, telah ditentukan terlebih dahulu, yaitu sesuai dengan besarnya uang pinjaman, yaitu sekian prosen dari jumlah pinjaman, berdasarkan keputusan rapat anggota KOSIPA.
3. Masih perlu dipersoalkan lagi mengenai akad pinjaman tersebut. Jika jumlah uang yang dipinjam oleh anggota KOSIPA adalah sama atau kurang sedikit dari uang simpanannya sendiri, maka akad pinjaman tersebut adalah fasid atau rusak, sebab anggota tersebut mengambil miliknya sendiri. Dan jika lebih dari uang simpanannya sendiri, maka jumlah pinjaman hanyalah sebesar kelebihan tersebut. Dalam hal ini jika di-akad-i seluruhnya, maka hukumnya juga fasid.

Jadi tanpa memperhatikan apakah syarat pemberian uang administrasi tersebut dilakukan pada waktu akad pinjam meminjam sedang berlangsung, atau sebelum akad atau sesudah akad; dan apakah syarat tersebut berbentuk ucapan atau tulisan, yang kesemuanya memerlukan pembahasan tersindiri, maka pungutan uang administrasi tersebut dapat dimasukkan dalam pengertian hadits Nabi saw. yang berbunyi:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ الرِّبَا

"Setiap hutang yang menarik kemanfa'atan adalah perbuatan riba".
Koperasi menurut Syariat Islam

Jika kita ingin mendirikan koperasi yang tidak bertentangan dengan syari'at agama Islam, sedang kita bermaksud untuk memberikan bantuan pinjaman uang kepada para anggota yang memerlukannya, maka cara yang harus kita lakukan adalah mendirikan KOPERASI SERBA GUNA.

Langkah-langkah yang harus dilakukan antara lain:

* Setelah modal dari para anggota terkumpul, seluruh anggota dipanggil untuk melakukan kesepakatan (akad) bahwa modal yang telah terkumpul menjadi satu tersebut akan dipergunakan untuk berdagang.
* Koperasi membeli barang-barang yang akan dibeli oleh setiap orang yang memerlukannya, termasuk blangko formulir yang akan dibeli oleh orang ingin meminjam uang dari Koperasi Serba Guna tersebut.
* Setiap orang yang ingin meminjam uang dari koperasi tersebut diharuskan mengisi formulir yang harus dibeli dari koperasi.
* Warna dari kertas formulir yang dijual oleh koperasi harus dibedakan sesuai dengan jumlah uang yang akan dipinjam, misalnya: Untuk pinjaman sebesar Rp.25.000- warnanya putih; untuk Rp 50.000,- warnanya kuning; untuk Rp 75.000,- warnanya hijau; untuk Rp 100.000,- warnanya merah; dan seterusnya.

Sedang harga dari blanko formulir tersebut dibedakan sesuai dengan warnanya, menurut keputusan rapat anggota. Dengan demikian koperasi tidak memungut uang administrasi atau bunga, tetapi memperoleh keuntungan dari penjualan formulir, seperti Kantor Pos menjual perangko dan koperasi selamat dari perbuatan atau mu'amalah yang riba.

Koperasi Mewujudkan Kebersamaan dan Kesejahteraan: Menjawab Tantangan Global dan Regionalisme Baru


Membangun sistem Perekonomian Pasar yang berkeadilan sosial tidaklah cukup dengan sepenuhnya menyerahkan kepada pasar. Namun juga sangatlah tidak bijak apabila menggantungkan upaya korektif terhadap ketidakberdayaan pasar menjawab masalah ketidakadilan pasar sepenuhnya kepada Pemerintah.

Koperasi sebagai suatu gerakan dunia telah membuktikan diri dalam melawan ketidakadilan pasar karena hadirnya ketidaksempurnaan pasar. Bahkan cukup banyak contoh bukti keberhasilan koperasi dalam membangun posisi tawar bersama dalam berbagai konstelasi perundingan, baik dalam tingkatan bisnis mikro hingga tingkatan kesepakatan internasional. Oleh karena itu banyak Pemerintah di dunia yang menganggap adanya persamaan tujuan negara dan tujuan koperasi sehingga dapat bekerjasama.

Meskipun demikian di negeri kita sejarah pengenalan koperasi didorong oleh keyakinan para Bapak Bangsa untuk mengantar perekonomian Bangsa Indonesia menuju pada suatu kemakmuran dalam kebersamaan dengan semboyan “makmur dalam kebersamaan dan bersama dalam kemakmuran”. Kondisi obyektif yang hidup dan pengetahuan masyarakat kita hingga tiga dasawarsa setelah kemerdekaan memang memaksa kita untuk memilih menggunakan cara itu. Persoalan pengembangan koperasi di Indonesia sering dicemooh seolah sedang menegakan benang basah. Pemerintah di negara-negara berkembang memainkan peran ganda dalam pengembangan koperasi dalam fungsi “regulatory” dan “development”. Tidak jarang peran ‘”development” justru tidak mendewasakan koperasi.
Koperasi sejak kelahiranya disadari sebagai suatu upaya untuk menolong diri sendiri secara bersama-sama. Oleh karena itu dasar “self help and cooperation” atau “individualitet dan solidaritet” selalu disebut bersamaan sebagai dasar pendirian koperasi. Sejak akhir abad yang lalu gerakan koperasi dunia kembali memperbaharui tekadnya dengan menyatakan keharusan untuk kembali pada jati diri yang berupa nilai-nilai dan nilai etik serta prinsip-prinsip koperasi, sembari menyatakan diri sebagai badan usaha dengan pengelolaan demoktratis dan pengawasan bersama atas keanggotaan yang terbuka dan sukarela. Menghadapi milenium baru dan globalisasi kembali menegaskan pentingnya nilai etik yang harus dijunjung tinggi berupa: kejujuran, keterbukaan, tanggung jawab sosial dan kepedulian kepada pihak lain (honesty, openness, social responsibility and caring for others) (ICA,1995). Runtuhnya rejim sosialis Blok-Timur dan kemajuan di bagian dunia lainnya seperti Afrika telah menjadikan gerakan koperasi dunia kini praktis sudah menjangkau semua negara di dunia, sehingga telah menyatu secara utuh. Dan kini keyakinan tentang jalan koperasi itu telah menemukan bentuk gerakan global.

Koperasi Indonesia memang tidak tumbuh secemerlang sejarah koperasi di Barat dan sebagian lain tidak berhasil ditumbuhkan dengan percepatan yang beriringan dengan kepentingan program pembangunan lainnya oleh Pemerintah. Krisis ekonomi telah meninggalkan pelajaran baru, bahwa ketika Pemerintah tidak berdaya lagi dan tidak memungkinkan untuk mengembangkan intervensi melalui program yang dilewatkan koperasi justru terkuak kekuatan swadaya koperasi.

Di bawah arus rasionalisasi subsidi dan independensi perbankan ternyata koperasi mampu menyumbang sepertiga pasar kredit mikro di tanah air yang sangat dibutuhkan masyarakat luas secara produktif dan kompetitif. Bahkan koperasi masih mampu menjangkau pelayanan kepada lebih dari 11 juta nasabah, jauh diatas kemampuan kepiawaian perbankan yang megah sekalipun. Namun demikian karakter koperasi Indonesia yang kecil-kecil dan tidak bersatu dalam suatu sistem koperasi menjadikannya tidak terlihat perannya yang begitu nyata.

Lingkungan keterbukaan dan desentralisasi memberi tantangan dan kesempatan baru membangun kekuatan swadaya koperasi yang ada menuju koperasi yang sehat dan kokoh bersatu.

Menyambut pengeseran tatanan ekonomi dunia yang terbuka dan bersaing secara ketat, gerakan koperasi dunia telah menetapkan prinsip dasar untuk membangun tindakan bersama. Tindakan bersama tersebut terdiri dari tujuh garis perjuangan sebagai berikut :

Pertama, koperasi akan mampu berperan secara baik kepada masyarakat ketika koperasi secara benar berjalan sesuai jati dirinya sebagai suatu organisasi otonom, lembaga yang diawasi anggotanya dan bila mereka tetap berpegang pada nilai dan prinsip koperasi;

Kedua, potensi koperasi dapat diwujudkan semaksimal mungkin hanya bila kekhususan koperasi dihormati dalam peraturan perundangan;

Ketiga, koperasi dapat mencapai tujuannya bila mereka diakui keberadaannya dan aktifitasnya;

Keempat, koperasi dapat hidup seperti layaknya perusahaan lainnya bila terjadi “fair playing field”;

Kelima, pemerintah harus memberikan aturan main yang jelas, tetapi koperasi dapat dan harus mengatur dirinya sendiri di dalam lingkungan mereka (self-regulation);

Keenam, koperasi adalah milik anggota dimana saham adalah modal dasar, sehingga mereka harus mengembangkan sumberdayanya dengan tidak mengancam identitas dan jatidirinya, dan;

Ketujuh, bantuan pengembangan dapat berarti penting bagi pertumbuhan koperasi, namun akan lebih efektif bila dipandang sebagai kemitraan dengan menjunjung tinggi hakekat koperasi dan diselenggarakan dalam kerangka jaringan.

Bagi koperasi Indonesia membangun kesejahteraan dalam kebersamaan telah cukup memiliki kekuatan dasar kekuatan gerakan. Daerah otonom harus menjadi basis penyatuan kekuatan koperasi untuk menjaga keseimbangan antara kebutuhan lokal dan arus pengaliran surplus dari bawah. Ada baiknya koperasi Indoensia melihat kembali hasil kongres 1947 untuk melihat basis penguatan koperasi pada tiga pilar kredit, produksi dan konsumsi (Adakah keberanian melakukan restrukturisasi koperasi oleh gerakan koperasi sendiri?)

Dengan mengembalikan koperasi pada fungsinya (sebagai gerakan ekonomi) atas prinsip dan nilai dasarnya, koperasi akan semakin mampu menampilkan wajah yang sesungguhnya menuju keadaan “bersama dalam kesejahteraan” dan “sejahtera dalam kebersamaan”.